Seperti halnya Pegunungan Tengger, Dataran Tinggi Dieng juga merupakan dataran vulkanik yang masih aktif. Hal ini terlihat dari suburnya tanah yang menjadikan sayuran yang ditanam di wilayah ini menjadi produk unggulan. Selain itu ditandai dengan banyaknya kawah yang mengeluarkan asap dan kandungan belerang yang cukup tinggi. Salah satu kawah yang menjadi objek favorit para wisatawan domestik dan mancanegara adalah Kawah Sikidang.
Kawah Sikdang
Untuk menuju lokasi ini kami membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk berjalan kaki dari penginapan. Lokasi ini berdekatan dengan lokasi Komplek Candi Bima. Tak jauh dari Candi Bima plang Kawasan Kawah Sikidang ini mulai terlihat. Pada saat kami datang tempat pembelian loket pun sepi tidak ada orang serta tidak ada portal yang menghalangi jalan masuk utama. Jadi beruntunglah kami pada hari itu karena tidak harus membayar tiket masuk (jangan ditiru ya..!!).
Dari pintu gerbang perjalanan tidak langsung berhenti, karena untuk mencapai kawasan kawah ini diperlukan perjalanan yang cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Baiknya akses jalan ini memudahkan wisatawan untuk menuju kawah. Selama perjalanan papan-papan peringatan mengenai adanya gas beracun terpampang di pinggir jalan. Jalan yang menanjak dan bau busuk yang mulai tercium membuat nafas sedikit terengah-engah. Ketika setengah perjalanan terlihat dengan jelas pipa-pipa besar yang memanjang melintasi kawasan ini. Pipa ini digunakan untuk menyalurkan gas panas bumi yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Akan tetapi, kondisi pipa ini sudah memprihatinkan. Terdapat salah satu pipa yang sudah berkarat dan terdapat lubang. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika pipa-pipa ini bocor.
Perjalanan yang cukup menguras energi terbayar ketika sampai di kawah ini. Ketika memasuki kawasan kawah bau busuk belerang semakin kuat tercium. Untuk itu disarankan bagi para pengunjung menggunakan pelindung seperti masker atau syal. Kesan pertama ketika melihat kawasan ini bagaikan berada di planet lain. Warna hijau yang menyejukkan mata dikala melihat gunung, pohon, dan ladang pertanian warga setempat berubah seketika menjadi hamparan tanah tandus yang mengeluarkan asap dimana-mana.
Kata Sikidang menurut warga setempat berasal dari kata kidang yaitu kijang dalam bahasa Jawa. Letupan air panas dan asap sering berpindah-pindah posisi yang mengakibatkan wisatawan yang berkunjung harus berhati-hati ketika melangkah. Bahkan tidak sedikit yang melompat ketika berjalan untuk menghidari semburan air panas.
Dibagian kawah terbesar terbentuk seperti cekungan yang berisi letupan air panas. Diperkirakan panasnya air ini mencapai 98 derajat Celsius. Bagian kawah ini dibatasi oleh pagar bambu yang dimaksudkan untuk keamanan dan pencegahan bagi wisatawan yang ingin mendekat ke area kawah. Batu belerang yang mengandung sufur ini diyakini memiliki beberapa manfaat. Banyak orang yang memanfaatkan batu ini sebagai obat penghilang penyakit kulit seperti panu, kurap bahkan jerawat. Jadi tidak heran jika anda akan menemukan banyak penjual batu belerang di kawasan ini.
Dieng ialah tujuan perjalanan saya kali ini. Dataran tinggi ini terletak pada kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Kata Dieng berasal dari bahasa Sansekerta "Di" yang artinya tempat tinggi dan "Hyang" yang artinya kayangan, maka dapat diartikan sebagai tempat tinggi bagi para dewa dewi. Pada perjalanan ini saya tidak
sendiri karena sahabat traveling saya sudah menunggu terlebih dahulu di Jogja.
Hari itu matahari bersinar cerah
dan tepat pukul 10.00 saya berangkat meninggalkan Bogor menuju Jogja. Untuk ke Dieng rute yang kami pilih adalah melalui Jogja. Salah satu
alasannya karena sahabat traveling saya ini memang tinggal disana. Jadi
akan lebih efektif jika dibandingkan kalau kami bertemu langsung di kota
lain.
Untuk menuju Jogja alat
transportasi yang saya pilih adalah kereta api. Setelah sampai di
stasiun terakhir, akhirnya saya sampai juga di Stasiun Jakarta Kota. Dari stasiun ini saya segera
berpindah ke kereta yg akan membawa saya ke kota budaya itu. Akhirnya
tepat pukul 12.00 kereta yang saya naiki pun berangkat. Kala itu kereta
yang saya pilih adalah Gaya Baru Malam Selatan dengan tujuan akhir Surabaya.
Alat transportasi masal ini nampak lengang saat meninggalkan Stasiun Jakarta Kota. Ketika memasuki Stasiun Senen keheningan pun terpecahkan oleh
suara orang-orang yang hendak masuk menaiki kereta ekonomi ini. Selama
perjalanan saya disuguhkan oleh tangisan anak kecil, ibu-ibu dan
bapak-bapak yang saling berbincang dengan kerabat mereka, bahkan tidak
sedikit yang tertidur dengan pulasnya. Keramahtamahan mereka terlihat
saat mengeluarkan perbekalan, tidak sedikit dari mereka yang
menawarkan makanan pada orang yang duduk disekitar mereka. Tidak
terkecuali, saya pun turut menikmati keramahan dari orang yang
duduk disekitar saya.
Hari menjelang sore dimana cahaya matahari begitu terang menyinari
dalam gerbong melalui kaca-kaca kereta. Ketika hawa menjadi panas dan
gerah tentunya hanya dengan berkipasanlah yang mampu meredakan rasa panas. Saat menaiki kereta ini jangan membayangkan seperti berada
dalam kereta eksekutif. Dimana keringat saja tidak akan menetes sedikit
pun. Ketika kereta berhenti di stasiun tertentu akan terdengar suara nyanyian pengamen serta sautan para penjaja makan dan minuman. Kereta ekonomi saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu. Tiket yang dijual hanyalah tiket duduk, dan tiket berdiri sudah tidak diberlakukan lagi. Keamanan yang baik dan penertiban pedangan pun sudah mulai tampak di kereta yang harga tiketnya jauh dibawah harga tiket kereta bisnis, ekoAC, dan eksekutif. Suasana inilah yang tidak akan anda jumpai di kereta eksekutif dan tentunya semakin mewarnai perjalanan saya kali ini.
Setelah menempuh perjalanan selama 9 jam akhirnya saya pun turun dari kereta dan sampai di Stasiun Lempuyangan, Yogjakarta. Di gerbang luar stasiun nampak seorang wanita berjilbab telah menanti kedatangan saya di kotanya. Dialah Rieke "Ownenk" sahabat traveling saya kali ini. Karena waktu sudah larut dan perut terasa lapar, akhirnya sebelum menuju rumah Rieke kamipun penyempatkan diri mampir di salah satu angkringan yang ada. Perjalanan menuju Dieng pun kami lakukan keesokan harinya.
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh menandakan waktu telah pagi dan kami pun siap berpetualang menuju negeri para dewa. Perjalanan kami mulai sejak pukul 06.30 dan butuh waktu sekitar 15 menit untuk akhirnya sampai di Terminal Jombor. Melalui terminal ini kami akan menaiki bus jurusan Jogja-Magelang. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan untuk akhirnya sampai di terminal Magelang. Pukul 08.15 kami pun sampai dipemberhentian terakhir bus Jogja-Magelang. Di luar pintu masuk terminal kami langsung disambut oleh para kernek bus yang berebut mencari penumpang. Tak jauh dari depan gerbang terdapat sebuah bus kecil jurusan Magelang-Wonosobo. Tanpa menunggu lama bangku bus yang kami naiki seketika penuh dengan para penumpang dan perjalanan pun siap dilanjutkan.
Dieng
Rute perjalanan ini akan melewati kota Secang, Temanggung, Parakan dan Keretek. Selama perjalanan kondisi lalu lintas lancar tidak ramai seperti di kota besar lainnya. Selama perjalanan kami disuguhkan oleh pemandangan pepohonan, gunung dan tentunya pasar tradisional. Ketika memasuki kota Wonosobo udara sejuk mulai terasa walaupun matahari cerah bersinar. Setelah melewati dua jam perjalanan akhirnya kami sampai di terminal Wonosobo. Untuk melanjutkan ke Dieng kami harus menaiki angkutan umum menuju persimpangan jalan besar dimana bus-bus tujuan Dieng banyak ditemukan.
Perjalanan pun kami lanjutkan kembali dengan menaiki bus tersebut. Selama perjalanan kami dimanjakan dengan pemandangan beberapa gunung di sisi kanan kiri serta hawa dingin yang semakin lama semakin terasa. Jalanan yang semakin menanjak dan berkelok mendakan semakin dekatnya kami dengan tujuan akhir perjalanan ini. Selama perjalanan pun aroma bawang cukup terasa, karena pada saat itu sedang musim panen. Nuansa religi begitu kental terasa di kota ini. Banyak sekolah-sekolah Islam berdiri di sana. Tidak jarang pula kami melihat para siswa yang berjalan kaki pulang dari sekolah menuju rumah-rumah mereka.
Empat puluh lima menit adalah waktu yang kami butuhkan untuk akhirnya mencapai dan menginjakkan kaki di negeri para dewa ini. Suasana yang cukup terik karena saat itu kami sampai sekitar pukul 11.45. Hawa yang terasa cukup dingin karena ketinggian dataran ini yang mencapai lebih dari 2000 meter dpl. Mencari penginapan yang murah tentunya menjadi tujuan pertama kali ketika menginjakan kaki disana. Akhirnya kami mendapatkan penginapan yang murah dengan fasilitas yang cukup untuk berlindung dari dinginnya udara malam nanti. Ketika malam suhu udara di Dieng dapat mencapai kurang dari 10 derajat Celsius. Dapat dibayangkan bagaimana dinginnya bukan.
Mie Ongklok
Ketika menyambangi kawasan ini tidak lupa kami mencicipi Mie Ongklok khas Wonosobo. Mie ini hampir mirip dengan mie ayam pada umumya tapi tetap berbeda rasanya dengan mie ayam yang biasa kita jumpai di kota-kota besar. Bentuknya yang sedikit basah (agak nyemek-nyemek) dan tambahan sate menjadikannya berbeda dengan lainnya. Tak jauh dari lokasi penjual Mie Ongklok terdapat penjual es dawet durian. Walaupun jemari tangan terasa mulai kaku tetap saja penjual es yang ramai dikunjungi oleh pembeli itu tetap kami sambangi. Ternyata apa yang dilihat dan dipikirkan sesuai dengan kenyataannya. Rasa es dawet ini cukup nikmat. Dawet asli yang terbuat dari tepung beras serta tambahan gula jawa yang harum dan legit membuat kami melupakan sejenak hawa dingin yang menusuk tulang.
Petualangan kami pun segera dimulai. Dengan menyambangi Telaga Warna, Goa-Goa yang ada, Kawah Sikidang, ke beberapa komplek candi dan tentunya menikmati sunrise di puncak Gunung Sikunir.
Ketika anda berkunujung ke tempat ini terdapat beberapa makanan yang dapat dijadikan buah tangan seperti keripik dan yang khas adalah manisan Carica. Selain itu ketika hawa dingin merasuk dimalam hari akan lebih nikmat jika meminum Purwoceng. Minuman ini berfungsi untuk memberikan rasa hangat pada tubuh.
Rincian Biaya Perjalanan Bogor-Yogjakarta-Dieng :
Bogor-Jakarta (Commuter Line ) : 7.000 (sekarang naik jadi 9.000)
Jakarta-Yogjakarta (Kereta GB Malam Selatan) : 33.500
Jogja-Magelang (bus) : 8.000
Magelang-Wonosobo (bus) : 16.000
Wonosobo-Dieng (angkot + bus) : 2.000 + 8.000
Penginapan : 50.000/malam (diisi dua orang jadi per orang 25.000)
Biaya yang saya keluarkan untuk sekali perjalanan adalah 74.500 IDR (tanpa biaya penginapan) dan ongkos pulang pergi hanya merogoh kocek 149.000 IDR. Dengan budjet sekitar 300.000 IDR saya rasa cukup untuk bekal selama perjalanan dari Bogor-Dieng. Jadi dengan budget terbatas siapa bilang tidak bisa berpetualang.
Ketika mendengar kata Ambarawa banyak orang yang teringat oleh sosok Jenderal Besar Soedirman. Kota sejuk yang berada di selatan kota Semarang ini menyimpan beberapa wisata sejarah. Salah satu tempat wisata yang tidak hanya menarik tapi juga memberikan edukasi adalah museum Kereta Api Ambarawa.
Untuk menuju ke
museum ini dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam dari Kota Semarang. Alat
transportasi umum yang menuju Ambarawa banyak ditemukan di daerah Ungaran Kabupaten Semarang. Bagi para wisatawan yang tidak memiliki kendaraan pribadi
pun tetap dapat menyambangi museum dengan mudah dan harga yang relatif murah.
Museum yang
didirikan pada tahun 1873 mulanya bernama Willem I. Penamaan ini didasarkan
pada nama raja Belanda pada saat itu. Ketika pertama kali memasuki area museum
kita akan disambut oleh lokomotif tua yang terpajang di depan area museum. Pada
bagian depan museum terdapat loket pemesanan karcis yang bersebelahan dengan
kantor kepala museum. Ruang VIP penumpang sekarang dijadikan sebagai tempat
penyimpanan barang-barang peralatan kereta pada saat itu. Selain itu,
dipamerkan pula berbagai foto stasiun-stasiun di Indonesia pada tempo dulu.
Pada bagian halaman stasiun banyak di tempatkan lokomotif tua yang sudah tidak
beroperasi. Lokomotif ini digunakan sejak zaman Perang Dunia I dan II. Ketika
itu lokomotif ini banyak digunakan untuk kepentingan militer. Sekitar 21
lokomotif terpajang di sana dengan apik dan terawat.
Add caption
Tidak hanya melihat lokomotif tua, bangunan museum juga memberikan suasana yang akan membawa kita kembali tempo dulu. Struktur bangunan yang terbuat dari baja, atap yang tinggi, bagian peron yang luas, hingga bentuk bangku dan ubin yang khas dengan sentuhan ruangan khas Belanda akan membawa anda kembali kemasa kolonial Belanda. Tempat ini juga cocok untuk dijadikan latar bagi anda yang gemar berfoto-foto karena suasana yang khas dan kuno. Tidak kalah serunya
para wisatawan yang berkunjung juga dapat menikmati perjalan dengan kereta tua.
Perjalanan ini melayani rute Tuntang-Bedono. Menikmati pemandangan perkebunan
tebu dengan kereta tua sudah barang tentu akan memberikan kesan mendalam bagi
para wisatawan. Untuk menikmati perjalanan ini memang dibutuhkan biaya yang
cukup mahal. Hal ini dikarenakan biaya operasional untuk menjalakan kereta ini
cukup besar. Dengan begitu wisata perjalan ini cocok bagi sekelompok atau
rombongan tertentu.
Add caption
Bagi anda yang berkunjung hanya dengan beberapa orang tidak perlu khawatir karena museum ini juga menyediakan lori yang digunakan untuk perjalanan Tuntang-Bedono. Untuk itu kita hanya mengeluarkan uang sebesar 10.000 IDR. Namun tentu saja rasanya akan berbeda ketika melakukan perjalanan dengan lokomotif tua. Lima ratus meter
dari museum ini terdapat sebuah pasar tradisional. Kondisi pasar yang bersih
akan membuat anda nyaman untuk menyambanginya. Pada pasar ini dijajakan
berbagai macam buah dan sayur. Selain itu juga terdapat makanan khas Ambarawa
yang bisa anda jadikan sebagai buah tangan. Jadi tunggu
apalagi, tempat ini sangat cocok untuk dijadikan salah satu tujuan liburan anda
dengan teman ataupun keluarga. Selain itu sangat cocok bagi anak-anak untuk
menambah pengetahuan dan sejarah bangsa terutama perkeretaapian Indonesia.