Disini saya hanya ingin men-share pengalaman backpacker saya dengan keempat kawan saat pergi menuju Lombok. Memang perjalanan ini sudah terjadi dua tahun yang lalu dari sejak saya menulis artikel ini, mungkin biayanya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini.
Perjalanan kami diawali dari kota hujan Bogor. Kala itu tujuan kami ke Lombok sebenarnya bukan untuk berwisata melainkan untuk melakukan salah satu tugas PKL kami. Perjalanan dimulai dengan keberangkatan kami menuju Jakarta, tepatnya Stasiun Senen. Untuk menuju Stasiun Senen kami menggunakan Commuter Line dan berhenti di Stasiun Juanda. Dari Stasiun Juanda ini kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bajaj hingga Stasiun Senen. Setibanya di Stasiun Senen sekitar pukul 10.00 dan dari stasiun inilah kami akan melakukan perjalan panjang menuju kota apel, Malang.
Setasiun Bogor
Untuk menuju ke Malang dengan kereta saat hanya terdapat dua macam dari Jakarta yaitu kereta eksekutif dan ekonomi. Karena judulnya saja sudah backpacker tidak mungkin kan memilih menggunakan kereta eksekutif. Kereta yang membawa kami menuju kota Malang adalah Kereta Matarmaja. Ketika itu suasana kereta ekonomi memang tidak sebaik saat ini. Waktu itu kereta ekonomi masih menjual tiket berdiri sehingga akan sangat banyak kita temukan orang yang berdiri dan duduk di sepanjang lorong kereta api. Suasana yang panas, ramai, dan tidak sedikit pria yang merokok di dalam kereta mewarnai perjalanan kami pada waktu itu.
Stasiun Malang Baru
Perjalanan menuju Malang memang cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar 18 jam perjalanan. Tepat pukul 07.00 pagi keesokan hari akhirnya kereta ini berhenti di stasiun terakhir, yaitu Stasiun Kota Malang. Selanjutnya kami akan melanjutkan menuju Banyuwangi dengan kereta. Tetapi karena kereta ke Banyuwangi berangkat pukul 14.30 maka kami istirahat dan menunggu dirumah nenek saya di Malang. Lumayan kan untuk memulihkan tenaga yang terkuras selama perjalanan sekaligus isi ulang perbekalan.
Pukul 13.30 kami sudah kembali berada di Stasiun Kota Malang. Setelah sejam menunggu akhirnya kereta Tawang Alun yang muju Banyuwangi datang juga. Karena tidak ada nomor duduk jadi kita harus ikut berdesakan dan berebut tempat duduk dengan penumpang lainnya. Karena penuhnya kereta sudah pasti kami semua tidak memperoleh tempat duduk. Bahkan untuk sekedar menyandakan diri saja terpakssa duduk ditangan bangku yang ada. Setelah setengah perjalanan barulah kami mendapatkan tempat duduk. Itu pun karena penumpangnya sudah turun terlebih dahulu. Perjalanannya cukup lama karena sejak berangkat dari Malang pukul 14.30 kita baru sampai di Stasiun Banyuwangi Baru sekitar pukul 21.30 jadi ada sekitar tujuh jam perjalanan.
Pelabuhan Ketapang
Karena kereta yang kami naiki adalah kereta yang terakhir sampai di stasiun ini sudah barang tentu pada saat kami sampai Stasiun Banyuwangi Baru sudah tutup dan sepi. Bahkan kami nyaris tidak bisa keluar stasiun karena pintu keluar telah dikunci. Beruntung ada petugas yang berjaga, sehingga pintunya bisa dibuka. Perjalanan dengan kereta yang cukup panjang dari Bogor hingga Banyuwangi telah terlewati sekarang saatnya pindah menggunakan kapal laut. Untuk menuju Pelabuhan Ketapang kami berjalan kurang lebih 300 meter dari stasiun. Karena letaknya yang tidak terlalu jauh dengan stasiun. Sesampainya di pelabuhan lagi-lagi kami beruntung karena terdapat kapal Ferry yang akan menyeberang ke Bali. Penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk Bali tidak terlalu lama hanya sekitar 45 menit.
Sesampainya di pelabuhan Gilimanuk tentunya akan ada pemeriksaan KTP, jadi jangan sampai anda tidak membawa tanda pengenal (KTP) karena perjalanan akan terhambat bahkan runyam hanya karena itu. Kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk sekitar pukul 01.00 WITA. Untuk menyeberang ke pulau Lombok kita terlebih dahulu harus menuju Pelabuhan Padang Bai Karena letakknya yang dibagian timur pulau bali jadi kami harus naik bus. Bus yang menuju pelabuhan Padang Bai dari Gilimanuk memang jarang dan ada setiap 2 jam sekali. Dari kejauhan tak lama kami melihat sebuah bus kosong yang terdiam di terminal Gilimanuk bertuliskan Gilimanuk-Padang Bai. Tanpa pikir panjang langsung saja kami naiki.
Pelabuhan Gilimanuk, Bali
Setelah menungu hampir setegah jam lebih akhirnya bus ini terisi penuh oleh penumpang dan siap untuk berangkat. Perjalanan malam yang sunyi menyisiri hutan belantara mewarnai perjalanan kami di malam itu. Sekitar pukul 05.00 WITA bus yang kami naiki sampai juga di Kota Denpasar. Masih harus melalui dua jam lagi untuk mencapai Pelabuhan Padang Bai Karena jalanan yang tidak ramai dan lancar akhirnya kami sampai di Pelabuhan sekitar pukul 06.30 WITA.
Kapal yang akan membawa kami menuju Pulau Lombok telah bersandar di tepi dermaga. Setelah melewati perjalanan darat akhirnya kami kembali akan melanjutkan perjalanan laut. Kali ini penyeberangan akan berlangsung lebih lama, sekitar empat jam perjalanan. Selama perjalanan kapal, hamparan laut membentang luas. Inilah selat Lombok, salah satu perairan yang dilintasi oleh aliran Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Akhirnya sekitar pukul 11.45 merapatlah kapal yang membawa kami dari Bali ini di Pelabuhan Lembar, Lombok.
Pelabuhan Padang Bai
Untuk menuju ibukota Lombok, Mataram kita melanjutkan perjalan dengan menggunakan mobil sewa elv. Dari Lembar menuju Mataram juga lumayan jauh dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalan untuk akhirnya kita sampai di Mataram. Selama perjalanan menuju ibukota kami melihat bentangan alam di wilayah kepulauan sunda kecil ini yang cukup panas dan kering. Cukup berbeda jika dibandingkan dengan kondisi di Pulau Jawa. Akhirnya sampailah kami di Kota Mataram, ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat ini. Dari kota inilah anda dapat melanjutkan perjalanan menuju tempat-tempat wisata terkenal seperti Pantai Senggigi, Gili Trawangan, Pantai Kute Lombok, Gunung Rinjani dan objek wisata lainnya.
Rincian biaya perjalanan Bogor-Malang-Bali-Lombok (2010)
Bogor-Jakarta (Stasiun Juanda) dengan kereta api : 7.000/orang
Stasiun Juanda-Stasiun Senen (bajaj) : 30.000 untuk 2 bajaj karena berlima jadi 5.000/orang
Stasiun Senen-Malang dengan kereta api 55.000/orang
Malang-Banyuwangi dengan kereta api : 18.500/orang
Ketapang-Gilimanuk dengan kapal Ferry : 6.000/orang
Gilimanuk-Padang Bai dengan bus :30.000/orang
Padang Bai-Lembar dengan kapal Ferry : 30.000/orang
Lembar-Mataram dengan elv : 15.000/orang
Info : tahun 2012 tarif kerta commuter line 9.000 IDR, bus Gilimanuk-Padang Day 45.000 IDR dan Padang Bai-Lembar 35.000 IDR.
Yang disebutkan diatas adalah biaya yang dikeluarkan untuk ongkos angkutan. Sedangkan untuk biaya makan tidak disebutkan. Lebih baik membawa bekal yang cukup untuk menghindari membeli makanan disepanjang perjalanan sehingga bisa lebih hemat. Jadi ketika itu ongkos yang dikeluarkan dari Bogor-Lombok hanya 166.500 IDR sekali perjalanan. Murah bukan dengan biaya sekitar 400.000 IDR sudah bisa untuk ongkos PP.
Pelabuhan Lembar, Lombok
Mungkin saat ini karena telah trejadi kenaikan harga BBM berimabas pada kenaikan ongkos angkutan jadi akan berbeda sedikit tapi tidak terlalu jauh dari apa yang telah saya uraikan diatas. Untuk pengeluaran biaya makan dan oleh-oleh itu lain hal. Walaupun perjalanan yang dilalui lebih panjang ketimbang memakai pesawat, tetapi akan selalu ada kisah menarik selama perjalanan yang akan terkenang dan menjadi cerita dikemudian hari. Selamat mencoba!!!
Ketika berkunjung ke Kota Gede mungkin yang banyak terlintas adalah kerajinan peraknya. Memang di kawasan ini banyak ditemui pengrajin perak. Tetapi selain melihat perak tentunya masih ada sejumlah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Ketika menyambangi rumah seorang kawan dikawasan Kota Gede saya diajak berkeliling disekitar sana. Dia hanya mengatakan bahwa akan membawa saya berkeliling tanpa mengatakan kemana tujuan kami sebenarnnnya.
Mulanya tempat yang disambangi adalah sebuah rumah dengan halaman yang luas. Ternyata rumah itu adalah gallery dan sekaligus pabrik pembuatan Cokelat Monggo. Cokelat Monggo adalah cokelat khas Jogja. Cokelat yang digunakan adalah cokelat terbaik yang berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera. Di tempat ini kita dapat langsung melihat proses pembuatan cokelat secara langsung dan proses pengemasan. Cokelat Monggo ini memiliki berbagai varian rasa mulai dari yang Paraline dengan isi selai strowbery, durian dan potongan kacang; kombinasi dengan chilli, jahe, dan lainnya. Untuk lebih mengetahui sejarah berdirinya Coklat Monggo ini anda bisa melihatnya di http://chocolatemonggo.com
Perjalanan pun kami lanjutkan menuju Masjid Kotagede. Masjid ini merupakan masjid tertua dan telah berdiri sejaka zaman Keraajaan Mataram. Lokasinya masih berdekatan dengan makam raja-raja Mataram. Rumah penduduk disekitar itu pun masih banyak yang berarsitektur Jawa kuno.
Setelah puas berkeliling di kawasan itu rasa lapar pun datang. Sekitar 200 meter dari Masjid Mataram terdapat warung sederhana yang menjual berbagai macam es dan bakso. Ketika memasuki warung kesan sederhana dan kuno pun mulai tampak. Warung ini sangat sederhana terlihat dari perkakas yang digunakan, toples-toples kuno yang berjajar hingga teko yang terbuat dari seng tak luput terlihat oleh mata. Daftar menu ditulis disebuah papan dengan ejaan lama bercampur dengan aksara jawa. Antara ruang makan dengan dapur hanya dibatasi oleh jajaran botol Sar Saparila yang disusun rapi.
Menu yang terdapat di warung ini juga beraneka ragam., mulai dari es buah, es ketan, es soklat (coklat), es jeruk dan es-es lainnya. Tidak hanya es disni juga disediakan minuman hangat seperti wedang tape, wedang jahe, teh, kopi dan lainnya. Selain kerupuk yang diletakkan pada toples-toples jadul; gorengan seperti bakwan, tahu dan tempe yang ditemani cabe rawit dengan ukuran besar; serta tentunya bakso yang menjadi menu andalan dari warung Sido Semi ini. Harga dari makanan yang dijual di warung ini juga tergolong murah. Karena waktu kami datang baksonya sudah habis jadi hanya makan tiga buah gorengan dengan sebotol saparila dan uang yang harus saya bayarkan hanya 5.000 IDR. Cukup murah bukan!!!
Alun-alun selatan atau yang biasa dikenal dengan Alun-Alun Kidul (Alkid) ini letaknya berada disebelah selatan Keraton Jogjakarta. Ketika siang hari memang alun-alun ini relatif lebih sepi dan pada sore harinya biasa digunakan oleh anak-anak kecil untuk bermain bola. Jika ingin menghabiskan waktu di malam hari tidak ada salahnya untuk menyambangi alun-alun ini.
Keramaian Alun-Alun Kidul di malam hari
Ketika malam alun-alun kidul akan lebih ramai. Banyak ditemui lesehan dari para penjaja makanan dan minuman. Disini akan ditemui banyak penjual minuman ronde. Ronde adalah minum hangat yang terdiri dari air jahe yang diisi oleh kacang, potongan roti tawar, kolang kaling dan bulatan ronde. Ronde sendiri terbuat dari tepung beras yang didalamnya berisi lelehan gula jawa dan potongan kacang tanah.
Selain ronde disini pun dijual minuman bajigur. Bagi yang berasal dari Sunda jangan heran walaupun namanya sama tetapi bajigur disini disajikan berbeda. Bajigur di Jawa Barat adalah minuman yang terbuat dari santan kelapa yang diberi gula merah dan biasanya ditemani dengan kue pais, nagasari, rebusan pisang, ubi, atau jagung. Di Jogja wedang bajigur terbuat dari santan kelapa yang diberi tambahan jahe, bubuk kopi, dan sirup gula jawa. Biasanya akan ditambahkan potongan roti tawar dan kolang kaling. Pisang dan jagung bakar pun banyak dijajakan di Alkid. Bahkan bagi yang ingin makanan berat pun ada seperti ayam bakar, ikan bakar, tempe penyet dan lainnya.
Yang terkenal dari Alkid ini adalah berdirinya dua buah pohon beringin kembar yang berada ditengah alun-alun. Banyak orang yang mencoba permainan Masangin. Permainnya memang sederhana tetapi tidak semudah yang dibayangkan. Kita hanya tinggal berjalan melewati kedua pohon tersebut. Tidak sekedar berjalan tetapi tantangannya adalah berjalan dengan mata tertutup dari ujung alun-alun. Tidak semua orang berhasil melewati kedua pohon itu. Banyak yang berjalan miring dan tidak sedikit yang malah kembali berbalik ke tempat semula. Menurut cerita orang yang berhasil melewati kedua pohon itu memiliki jiwa yang bersih. Disana juga banyak yang menyewakan penutup mata dengan harga sewa 3.000 IDR.
Alun-Alun Kidul di sore hari
Terdapat cerita yang berkembang di masyarakat mengenai mitos kedua pohon beringin tersebut. Salah satunya ketika dahulu pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I dilakukan sayembara bagi para kesatria yang ingin meminang putrinya. Saat itu syaratnya siapa yang berhasil melewati kedua pohon itu dengan mata tertutup akan dipersilahkan untuk meminang putrinya. Ketika itu yang berhasil adalah pangeran dari kerajaan Pajajaran putra dari Raja Siliwangi. Raja menggap bahwa pangeran dari tanah Sunda itu memiliki hati yang bersih sehingga mampu melewati kedua pohon tersebut.
Versi lainnya ada yang mengatakan bahwa ditanamnya kedua pohon itu digunakan sebagai pengecoh bagi tentara asing yang ingin menyerang keraton. Tentunya masih banyak versi lainnya mengenai alun-alun kidul ini.
Kemeriahan alun alun ini juga dilengkapi dengan banyaknya penyewaan sepeda hias. Berbagai macam bentuk sepeda ada disini, mulai dari yang roda dua, roda tiga, sampai empat pun ada. Yang membuatnya menarik adalah sepeda yang banyak dihiasi oleh lampu dan ornamen-ornamen lucu diatasnya, seperti hiasan lampu berbentuk gajah, doraemon, bebek dan masih banyak lainnya. Tidak sedikit sepeda yang dilengkapi dengan dvd player. Jadi sambil bersepeda kita juga dapat berkaroke ria bersama. Harga sewanya bemacam-macam tergantung dari jenis sepeda serta fasilitas yang ada didalamnya dan tentunya banyak putaran yang akan dilalui. Waktu itu saya dan kedua teman saya dikenai 30.000 IDR untuk sepeda dengan kapasitas 4 orang, fasilitas dvd pleyer, dan putaran 5 kali bonus 1 kali jadi total 6 putaran. Lumayakan untuk mengencangkan betis. Ketika akan menyewa sepeda jangan langsung setuju dengan harganya tawar saja dahulu siapa tahu kan bisa dapat harga yang lebih murah.
Saat perjalanan dari kota Ambarawa menuju Semarang saya menyempatkan diri untuk mengunjungi objek wisata Gedong Songo. Saya tertarik untuk menyambangi tempat itu setelah melihat papan reklame penunjuk jalan yang menujukan arah ke Gedong Songo.
Untuk mencapai komplek candi Hindu itu memang jalan yang ditempuh cukup berat. Jalanan yang menanjak serta tikungan yang tajam harus dilalui. Karena letak dari kompleks candi Gedong Songo berada di lereng Gunung Ungaran. Wilayah ini termasuk kedalam Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Tikungan yang dilalui cukup tajam hingga mencapai 45 derajat. Sepanjang perjalanan mata ini akan dimanjakan oleh hijaunya pepohonan dan pemandangan ladang-ladang sayur milik warga sekitar. Selama perjalanan kami melalui dua buah pasar. Disini banyak dijual hasil pertanian seperti sayur mayur dan buah-buahan.
Setelah menempuh waktu sekitar 45 menit dari persimpangan jalan raya Bandungan akhirnya sampailah di pintu utama objek wisata Gedong Songo. Untuk masuk ke dalam komplek candi para pengunjung dikenakan biaya sebesar 5.000 IDR. Gedong Songo dalam bahasa Jawa "gedong" yang artinya bangunan atau rumah dan "songo" artinya sembilan, jadi gedong songo artinya kelompok gedung yang berjumlah sembilan.
Letak dari satu komplek ke komplek candi lainnya cukup jauh. Bahkan jarak dari pintu utama ke kelompok candi pertama saja berjarak sekitar 200 meter dengan jalan yang menanjak. Semakin besar nama kelompok candi maka semakin tinggi pula lokasi candi itu. Untuk memutari seluruh komplek candi dibutuhkan tenaga ekstra karena jalannya yang semakin mendaki dan suhu udara yang cukup dingin sekitar 15 samapai 27 derajat Celsius. Ketika diperhatikan lebih jauh candi-candi yang berada disini memiliki kesamaan seperti candi yang saya temui ketika berpetualang di Dieng, Wonosobo.
Untuk menuju komplek candi 9 jalan yang dilalui adalah melewati kumpulan pohon pinus. Pohon-pohon ini berdiri tegak dan teratur sehingga memberikan pemandangan yang indah. Menurut cerita orang setempat dahulu candi-candi ini digunakan oleh para raja untuk berdoa atau bertapa dan mendekatkan diri pada dewa. Dibangunnya Gedong Songo di dataran yang tinggi atau pegunungan dimaksudkan untuk menjaga kekhusukan dalam berdoa. Selain itu anggapan bahwa semakin tinggi lokasi sembahyang maka akan semakin cepat terkabul doa mereka karena letaknya yang semakin dekat dengan tempat dewa di langit.
Selain candi di komplek wisata ini juga terdapat tempat pemandian air panas. Karena disalah satu lokasi banyak dijumpai batuan belerang yang mengandung sulfur. Untuk memasuki atau mandi sembari menikmati hangatnya air panas ini dikenakan biaya masuk sebesar 40.000 IDR/orang. Bagi anda yang tetap ingin mengitari seluruh komplek candi tanpa merasa lelah ditempat ini juga disediakan penyewaan kuda. Jadi selama perjalanan ini anda akan menaiki kuda. Untuk memutari seluruh komplek dengan berkuda harga sewa untuk wisatawan lokal sebesar 50.000 IDR.
Tidak hanya sembarang menaiki kuda, saat menaikinya para pemilik kuda juga akan memberikan pelatihan dan pelajaran yang langsung dapat dipraktekan tentang bagaimana caranya menunggang kuda yang benar. Selain menikmati wisata sejarah bagi anda yang belum mengerti cara berkuda dengan baik tentunya akan membuat anda setidaknya menjadi mengerti bagaimana cara menunggang kuda yang baik dan benar.
Udara yang dingin tentunya akan membuat kita mudah lapar. Untuk mengisi perut yang kosong di area ini juga banyak dijual sate kelinci. Tetapi bagi anda yang tidak suka karena merasa tidak tega memakan hewan lucu itu banyak terdapat alternatif makanan lainnya disana. Di area tersebut juga banyak dijual cenderamata dan baju hangat yang dapat anda jadikan sebagai oleh-oleh.
Malioboro, tidak ada orang yang tidak mengenal tempat ini. Kawasan yang berada di tengah Kota Jogja ini sudah melekat erat sebagai icon Propinsi DIY. Jalan Malioboro merupakan garis imaginer yang menghubungkan Pantai Parangteritis, keraton, Krapyak dan Merapi. Jalan ini juga merupakan satu dari tiga jalan yang membentang menintasi Tugu Jogja, Stasiun Kereta Tugu hingga Kantor Pos Yogjakarta.
Titk Nol
Penamaan jalan ini didasarkan atas fungsinya sebagai jalan menuju keraton. Dahulu sepanjang jalan ini ditanami beberapa pohon dan untaian kembang saat terdapat iring-iringan keraton melintas ataupun tamu agung yang datang. Kata malioboro berasal darikata "malio" yang artinya mulia dan "boro" yang artinya jalan yang dihiasi oleh untaian bunga. Sebenarnya perjalanan pertama kali saya ke Malioboro terjadi sejak tiga tahun silam tepatnya pada tahun 2009. Sejak saat itu setiap berkunjung ke Kota Jogja pasti saya akan selalu menyambangi kawasan tersebut. Keunikan dan suasananya membuat saya selalu rindu untuk kembali kesana. Sepanjang Jalan Malioboro mulau dari Stasiun Tugu hingga Monumen Serangan Umum 1 Maret ramai berdiri lapak-lapak penjual yang menjajakan cenderamata khas Jogja, makanan, dan pakaian (batik). Di jalan ini terdapat pasar tradisional yang telah berdiri sejak puluhan tahun lalu yaitu Pasar Beringharjo. Di pasar ini segala macam barang dapat kita temui, mulai dari pakaian batik, makanan, hasil bumi, obat tradisional, kosmetik, peralatan rumah tangga dan lainnya. Pasar ini dibuka sejak pukul 09.00 pagi.
Saat pagi-pagi melewati jalan ini yang paling enak adalah sarapan sego pecel. Di depan Pasar Beringharjo banyak sekali si mbok dan bahkan si mbah yang berjualan sego pecel berserta lauk pauknya dengan harga yang relatif murah. Ketika malam tiba mulai dari kawasan Stasiun Tugu hingga sisi jalan sepanjang dean Hotel Inna Garuda hingga Pasar Beringharjo banyak dibuka tempat makan atau yang biasa dikenal dengan angkringan. Bagi yang gemar minum kopi, tentunya jangan lewatkan untuk meminum kopi jos sambil menikmati suasana malam Malioboro.
Malioboro saat siang dan malam hari
Tidak jarang jalan ini sering dijadikan sebagai tempat untuk menampilkan pertunjukaan seni. Ketika watu-waktu tertentu event-event yang diadakan biasanya akan melewati jalan ini. Seperti event Gunungan saat memperingati malam satu suro (tahun baru Islam) dan Mubeng Benteng yang berlangsung pada beberapa waktu lalu. Disekitar Malioboro juga banyak berdiri tempat penginapan. Mulai dari yang harga sewa paling murah hingga mahal ada semua. Ketika liburan tiba akan sulit bagi anda untuk menemukan tempat penginapan yang kosong disana. Sepanjang Jalan Malioboro berdiri bangunan-bangunan penting dan bersejarah. Mulai dari Kantor Gubernur DIY, Kantor DPRD, Pasar Beringharjo, Gedung Agung, Benteng Vredebrug hingga patung besar yang berbentuk kaki atau yang biasa dikenal sebagai Titik Nol. Jalan ini akan menghubungkan kita dengan Alun-Alun Utara. Ketika waktu Sekatenan di alun-alun ini akan berdiri pasar malam dan biasanya berlangsung selama satu bulan.
Lawang Sewu adalah tempat yang tidak lupa saya datangi ketika berada di Kota Semarang. Lawang Sewu berasal dari bahasa Jawa yaitu kata Lawang yang artinya pintu dan Sewu yang artinya seribu. Jadi lawang sewu artinya pintu seribu. Hal ini dikarenakaan bangunan megah ini memiliki pintu yang begitu banyak dan diperkirakan jumlahnya mencapai seribu. Bangunan yang pada masa kolonial Belanda digunakan sebagai Kantor Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) tepat berada di depan Tugu Muda Semarang. Untuk masuk kedalam bangunan ini wisatawan diharuskan membayar tiket sebesar 5.000 IDR.
Saat berkunjung kesana bangunan ini sedang dipugar, sehingga wisatawan hanya dapat memasuki bagian belakang bangunan. Di sana juga dipamerkan foto-foto mengenai perkereta apian pada saat itu. Selain itu juga terdapat foto-foto perubahan bentuk bangunan dari masa ke masa. Kita pun dapat melihat beberapa contoh barang yang berkaitan dengan bangunan tersebut seperti genteng, batu bata, hingga berbagai macam ubin yang dipasang.
Lawang Sewu
Bagunan yang pada masa Belanda ini dijadikan sebagai Kantor Pusat Perusahan Kereta Api Swasta terdiri atas tiga lantai. Hal ini terlihat dimana pada bagian depan bangunan dipajang kepala lokomotif yang tentu umurnya sudah sangat tua. Pada sisi lain dari bangunan terdapat jalan menuju ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah ini cukup gelap, dan untuk memasukinya kita diharuskan menyewa sepatu boot sebesar 10.000 IDR ini sudah termasuk biaya masuk dan lengkap dengan pemandu wisatnya. Diharuskannya menggunakan sepatu boot karena banyaknya genangan air disepanjang lantai. Ruang bawah tanah ini dahulu dibuat untuk menampung air yang berguna sebagai pendingin ruangan. Ketika air mengembun maka akan menyerap masuk kerongga dinding yang menyebabkan ruangan diatasnya menjadi sejuk. Karena pada saat itu tentunya belum ada AC. Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang ruang bawah ini berubah menjadi penjara. Kekejaman Jepang pada saat itu terlihat ketika banyaknya tawanan yang dimasukkan kedalam penjara. Kondisi tempat yang tidak manusiawi tanpa adanya cahaya dan rongga udara yang baik memang cocok dijadikan tempat oleh para tentara Jepang untuk memenjarakan warga yang dianggap memberontak. Tidak hanya sebagai ruang penjara, tidak sedikit tawanan yang dihukum mati di tempat ini. Di sana terdapat penjara berdiri, penjara jongkok, rantai besi, hingga tempat pemasungan. Ruang bawah tanah ini hampir sama bentuk dan fungsinya seperti ruang bawah tanah di Museum Fatahillah Jakarta.
Lawang Sewu
Saat melewati salah satu sisi ruang bawah tanah terdapat sekitar dua pintu kecil yg menghubungkan bangunan ini dengan jalan menuju sungai. Jika dilihat dari atas tanah, bagian yang terdapat pintu kecil itu nampak seperti tempat penampungan sampah. Ternyata itu adalah jalan pintas yang digunakan untuk membuang tawanan yg telah dibunuh oleh tentara Jepang.
Karena dahulu banyak terjadi pembantaian yang dilakukan di bangunan ini maka berkembang anggapan bahwa tempat ini banyak dihuni oleh makhluk gaib. Maka tidak jarang pada tengah malam banyak orang yang sengaja memasuki ruangan ini hanya untuk menguji nyali mereka. Akan tetapi, setelah dilakukan perbaikan oleh pemerintah setempat bangunan ini dialihkan sebagai objek wisata bangunan sejarah dan kadang-kadang dijadikan sebagai tempat pertunjukan pagelaran seni. Ketika anda berkunjung ke kota lumpia ini jangan lupa untuk menyempatkan diri berkunjung ke Lawang Sewu. Selain kita akan disuguhkan oleh pesona keindahan bangunan kuno yang masih berdiri kokoh hingga saat ini kita juga dapat menambah pengetahuan mengenai sejarah bangsa Indonesia.
Baron salah satu pantai yang tidak jauh dari pantai Sundak dan menjadi pantai kedua yang saya datangi saat itu. Tidak hanya pantai Baron Kawasan Wisata Baron juga meliputi beberapa pantai lainnya seperti Pantai Siung, Sundak, Krakal dan Kukup. Pantai yang terletak di sebelah barat pantai Sundak ini memiliki daya tarik tersendiri.
Pantai Baron
Jarak dari tempat parkir menuju bibir pantai memang tidak sedekat Pantai Sundak. Sedikit lebih jauh yaitu sekitar 100 meter. Berbeda dengan Pantai Sundak pada pantai ini terlihat lebih ramai oleh warung, nelayan, tempat penginapan dan tempat pelelangan ikan. Pantai yang diapit oleh bukit di sisi kanan kirinya merupakan area teluk. Pada pantai ini kita juga akan menemukan jejeran kapal nelayan yang sedang disandarkan.
Muara sungai
Kodisi pantai yang indah dan warna pasir yang coklat membuat para wisatawan rela menceburkan diri ke area pantai. Tetapi area yang dapat digunakan untuk berenang terbatas hanya sampai pada penanda akhir areaa aman berenang. Hal ini dikarenakan ombak pantai yang cukup besar dan berbahaya. Tidak jauh dari bibir pantai terdapat sungai yang mengalirkan air tawar menuju laut. Berbeda dengan sungai pada umumnya, sungai ini memiliki air tawar yang bersih karena air ini mengalir dari dalam bawah tanah. Dengan bersihnya air maka tidak sedikit wisatawan yang berenang di sungai ini.
Muara sungai
Jika anda pernah mengunjungi Pantai Depok, Pantai Baron ini sama seperti Pantai Depok. Di pantai ini banyak terdapat warung-warung penjual makanan laut. Jadi selain menikmati desiran ombak di tepi pantai kita juga dapat memanjakan lidah kita dengan makan laut yang dijajakan. Bagi yang ingin menikmati malam di Pantai Baron dua bukit yang berada di sisi pantai dapat dijadikan alternatif menginap yang baik. Karena di tempat itu kita dapat melihat hamparan laut yang luas. Selain itu, dari bukit ini tentu kita dapat menikmati senja yang indah.
Jogja Istimewa,, kalimat yang sering terdengar ketika mendengar cerita para traveler yang menyambangi kota ini. Kota yang dikenal sebagai kota pelajar ini tidak hanya kaya akan wisata budaya, tetapi juga wisata alam yang dimilikinya. Mulai dari gunung, bukit, goa hingga pantai yang berada di propinsi ini sangat indah dan wajib untuk dikunjungi ketika aanda berkunjung ke Yogjakarta.
Sudah tidak aneh lagi ketika berkunjung ke Jogja, Malioboro dan Borobudur akan menjadi tujuan para wisatawan lokal dan mancanegara. Tetapi kali ini tujuan perjalanan saya adalah bagain selatan dari Propinsi Yogjakarta tepatnya di daerah Gunung Kidul. Wisata pantai yang terdapat di wilayah Gunung Kidul ini cukup banyak. Ada sekitar 15 pantai membentang disepanjang selatan Pulau Jawa ini dan salah satu pantai yang akan dituju adalah Pantai Sundak.
Pantai Sundak terletak di Desa Sidoharjo, Kecamaatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Untuk mencapai lokasi tersebut dibutuhkan waktu kurang lebih dua jam dari Kota Jogja. Jalur yang dilalui dari Kota Jogja adalah melalui Wonosari dan menuju Tepus, Gunung Kidul. Saat ini pemerintah DIY sedang gencar untuk mempromosikan wisata Gunung Kidul. Salah satu caranya dengan membangun akses jalan yang menghubungkan Kota Jogja, Wonosari dan Gunung Kidul. Tidak diragukan lagi bahwa jalan-jalan yang melintas di DIY menurut saya adalah jalan terbaik dan termulus di Pulau Jawa (bisa anda rasakan sendiri jika berkunjung ke sana).
Jalan yang menanjak dan udara yang cukup sejuk terasa saat memasuki kota Wonosari. Tidak berbeda dengan itu, ketika menuju daerah Tepus mata ini dimajakan dengan jalanan menanjak dan menurun dengan bentangan bukit-bukit kecil serta ladang-ladang milik warga sekitar. Setelah menempuh perjalanan yang hampir memakan waktu dua jam akhirnya sampailah kami di Pantai Sundak.
Dari tempat parkir untuk menuju bibir pantai tidaklah jauh hanya sekitar 30-50 meter. Keindahan pantai ini terlihat dari pasirnya yang putih dan bersih. Tidak berbeda dengan pantai selatan lainnya, Pantai Sundak memiliki karakteristik ombak yang cukup besar. Hal ini dikarenakan lokasinya yang berbatasan langsung dengan laut lepas, yaitu Samudera Hindia. Beningnya air pantai membuat karang-karang kecil yang bertebaran di sepanjang bibir pantai dapat kita lihat dengan jelas. Memang pantai ini tidak sepanjang pantai lainnya yang bersebelahan dengan Pantai Sundak. Akan tetapi, pesona alamnya yang indah telah membuat saya jatuh hati padanya.
Pada sisi kanan dan kiri pantai terdapat batu karang yang besar yang memisahkan pantai ini dengan pantai yang lain. Di salah satu sisi terdapat goa yang didalamnya mengalir mata air tawar. Konon dahulu terdapat seekor anjing yang sedang kelaparan bertengkar dengan seekor landak dalam goa tersebut. Akhirnya pertengkaran ini dimenangkan oleh anjing yang berhasil menggigit sebagian tubuh landak tersebut. Ketika sang pemilik anjing mencari keberadaan anjingnya itu tiba-tiba anjing ini keluar dari goa dengan menggigit sebagian tubuh landak itu. Akhirnya, pemilik anjing itu memasuki goa untuk melihat apa yang terjadi. Tak disangka ternyata muncul mata air tawar yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Berdasarkan cerita itu maka pantai ini diberi nama Sundak. Sundak merupakan singkatan dari kata "su" (Asu) yang artinya anjing dan "dak" yang yaitu landak.
Selain itu di pantai ini juga terdapat beberapa warung makan yang menjual masakan laut. Memang disekitar pantai ini tidak terdapat penginapan. Jadi ketika anda ingin bermalam di pantai ini tidak ada salahnya jika mendirikan tenda di tepi pantai sambil menyalakan api unggun.
Ketika mendengar Pulau Lombok siapa yang tidak tahu keindahan salah satu pulau kecil di barat laut pulau ini. Dialah Gili Trawangan salah satu gili yang keindahannya terkenal hingga ke mancanegara. Pulau terbesar di Lombok ini letaknya berdekatan dengan Gili Air dan Gili Meno. Walapun gili ini memiliki panjang 3 km dengan lebar pulau hanya 2 km, tetapi keindahan pulau ini akan membuat anda terdecak kagum.
Untuk menuju Gili Trawangan dari Kota Mataram dapat melalui dua jalur. Jalur pertama kita dapat melewati pegunungan dan yang kedua dapat melewati jalur pantai. Jika melalui jalur pegunungan anda akan melewati daerah Pusuk. Jalan yang naik turun serta tikungan yang tajam akan anda lalui disini. Akan tetapi yang menarik selain banyaknya pohon besar disisi jalan kita juga akan menemui sekumpulan monyet kecil. Tidak sedikit orang yang sengaja memberhentikan sementara perjalannya untuk sekedar memberi makan monyet-monyet itu. Jika tidak menggunakan mobil pribadi terdapat angkutan umum jurusan Mataram-Bangsal (Pemenang) dengan ongkos 15.000 IDR.
Gili Trawangan
Pilihan lainnya adalah melewati sisi pantai. Tetapi tidak ada angkutan umum yang melewati jalan ini, kecuali taksi. Selama perjalan anda akan disuguhi bentangan laut yang begitu indah, dengan gradasi warna yang nampak elok terlihat. Ini adalah salah satu rute yang biasa digunakan untuk menuju Pantai Senggigi.
Untuk menyeberang ke Gili Trawangan kita akan menaiki kapal penyeberangan yang bermuatan sekitar 30 orang di daerah Pemenang yaitu Dermaga Bangsal. Dari sini perjalanan menuju gili membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan ongkos menyeberang 10.000 IDR. Ketika didalam kapal pun tidak sedikit kami bertemu dengan sejumlah wisatawan domestik dan mancanegara.
Salah satu cafe di Gili Trawangan
Ketika mendarat di dermaga Gili Trawangan kita sudah dimanjakan oleh pesona pasir pantai yang putih dan air yang jernih. Di pulau ini juga banyak terdapat penginapan mulai dari yang harga untuk para backpacker hingga kelas koper. Hotel-hotel disini pun disainnya banyak yang berbentuk seperti rumah adat Suku Sasak. Suku Sasak adalah suku asli yang mendiami Pulau Lombok. Akan tetapi tidak sedikit penduduk di gili ini berasal dari suku Bugis. Menurut cerita orang setempat dahulu pulau ini sebelum dikembangkan sebagai tempat wisata adalah tempat yang digunakan untuk membuang para tawanan PKI. Tetapi sekitar tahun 1990 setelah meilihat potensi alam yang luar biasa maka dikembangkanlah gili ini menjadi tempat wisata.
Saat berjalan mengelilingi pulau kita tidak akan menemukan kendaraan beromor, karena memang dilarang penggunaannya di pulau ini. Yang ada hanyalah Cidomo (andong khas Lombok) dan penyewaan sepeda. Ketika berada di gili Trawangan anda dapat menikamti sunrise di bagian timur pulau, dan sunset ditepi barat dengan pemandangan Gunung Agung Bali. Kita pun dapat menikmati keindahan bawah lautnya, dengan snorkeling dan diving. Selain itu di bagian barat pantai juga terdapat tempat penangkaran penyu.
Tempat konservasi penyu
Kesan seperti berada di luar negeri mungkin akan anda rasakan sama juga seperti saya. Karena hampir di setiap sudut tempat kita akan mudah menemui orang asing ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ketika malam biasanya akan ada hiburan di salah satu kafe yang ada. Berbeda dengan di Bali, di sini beach party yang diadakan oleh cafe bergantian setiap harinya. Jadi ketika malam ini beach party di adakan disalah satu cafe bsok malam giliran cafe lainnya yang mengadakannya.
Jika anda tidak berniat untuk menginap di gili ini sebaiknya anda sudah bersiap sejak pukul 15.00. Karena pada jam inilah kapal terakhir akan datang mengangkut penumpang kembali menyeberang ke Bangsal. Kalau lewat dari pukul 15.00 yang tersedia adalah kapal carteran jadi sudah pasti harganya akan lebih mahal.
Setelah puas menikmati matahari terbit di Gunung Sikunir perjalanan pun kami lanjutkan. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini kami memutuskan untuk pergi menjelajah kawasan Dieng tanpa Pak Bee. Setelah mengantarkan kembali ke penginapan akhirnya kami pun berpisah dengan Pak Bee. Walaupun waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi, tetapi cahaya matahari yang terik terasa menyengat kulit. Mulai terasalah suara genderang dari perut kami. Karena ingin menghemat uang saku maka sarapan kali ini hanya dengan sebungkus popmie yang kami bawa sebagai bekal. Uang yang keluar dari kantong kami waktu itu hanya 6.000 IDR untuk membeli segelas teh hangat dan air panas untuk menyeduh mie.
Komplek Candi Arjuna
Merasa tenaga telah kembali dan siap untuk berpetualang kembali kami pun beranjak meninggalkan warung dan menuju kawasan candi di wilayah Banjarnegara. Di kawasan ini banyak berdiri candi Agama Hindu. Hal ini dicirikan dengan adanya arca Dewa Siwa, Wisnu, Ganesha, dan lainnya. Komplek candi yang ada diwilayah ini cukup unik karena bentuknya yang tidak terlalu besar, lokasi yang berjauhan dan penamaan yang menggunakan nama lakon Mahabarata yaitu keluarga Pandawa.
Komplek candi yang pertama kami kunjungi adalah Komplek Candi Arjuna. Pada komplek ini berdiri beberapa candi lainnya. Candi Arjuna terlihat lebih besar dibandingkan candi lainnya di kompleks tersebut, sehingga dianggap sebagai candi utama di komplek ini. Di bagian depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar yang berbentuk kubus dan lebih pendek. Bagain utara Candi Arjuna terdapat Candi Srikandi, Sembadra dan Puntadewa. Bagi anda yang pernah berwisata ke Gedong Songo di Ungaran, Candi Arjuna ini memiliki kesamaan dengan candi di Gedong Songo.
Candi Bima
Penataan taman pun sudah baik di kawasan Candi Arjuna dan terdapat jalan setapak yang menghubungakan kompleks Candi Arjuna dengan kompleks Candi Gatotkaca. Pada komplek Candi Gatotkaca hanya Candi Gatotkaca saja yang masih berdiri utuh sedangkan candi lainnya seperti Setyaki, Nakula dan Sadewa hanya tinggal reruntuhannya saja. Kompleks candi selanjutnya adalah Dwarawati dan Bima. Candi Bima ini terletak di bagain atas bukit dan berdekatan dengan lokasi menuju Kawah Sikidang.
Tepat di seberang jalan dari Candi Gatotkaca terdapat museum candi dan tempat pemutaran film dokumenter mengenai sejarah Dataran Tinggi Dieng. Untuk memasuki museum ini wisatawan dikenakan biaya 5.000 IDR per orang. Museum ini berisi berbagai macam bagian dari reruntuhan candi dan arca-arca dewa dewi.
Candi Gatotkaca
Kaki yang mulai terasa sakit dan lelah membuat kami malas untuk berjalan kaki menuju Dieng Plateau Theater. Jangan dibayangkan seperti di Puncak Cisarua ataupun Pantai Parangtritis yang menyediakan alat transportasi yang mudah dijangkau dan ada setiap saat, bahkan ojek saja tidak ada dikawasan ini. Dengan bermodal nekat kami pun menyetop setiap truk sayur yang lewat. Setelah tidak berhasil menyetop dua truk sayur, akhirnya truk ketiga yang kami stop pun berhenti. Kali ini buka truk sayur yang berhenti, tetapi truk pengankut pupuk tanaman yang berasal dari kotoran hewan.
Setelah mengatakan maksud kami meyetop truk itu, akhirnya bapak pengemudi truk bersedia mengantarkan kami menuju Dieng Plateau Theater. Ternyata jaraknya cukup jauh ditambah dengan jalan yang menajak, dan sangat yakin jika kami berjalan kaki dengan kondisi seperti itu dibutuhkan waktu 1,5-2 jam hingga sampai di DPT.
Perjalanan yang menyenangkan bisa mendapatkan tumpangan gratis dan cerita sejarah mengenai anak rambut gimbal dari bapak supir truk. Walaupun sesekali tercium wangi parfum alami yang kalau dirasakan baunya malah mirip seperti terasi udang (jangan dibayangkan ya!!).
Udara yang begitu dingin hingga menusuk tulang dan tidak sedikit anggota tubuh yang menjadi kaku karenanya. Suhu udara yang mencapai 13 derajat Celsius membuat saya dan sahabat traveling saya Rieke "Ownenk" begitu sulit untuk membuka mata pagi itu. Akan tetapi, keinginan kuat untuk bertemu sang surya di atas awan mengalahkan rasa dingin yang menusuk. Ditambah suara berisik dari empat orang wisatawan asing yang menginap di samping kamar yang bersiap untuk melakukan pendakian demi menikmati hangatnya sinar matahari di atas Gunung Sikunir.
Sikunir,gunung yang terletak di Dataran Tinggi Dieng ini memang kurang dikenal dibandingkan dengan gunung lainnya di Pulau Jawa seperti: Gunung Merapi, Semeru ataupun Bromo. Ketinggian yang mencapai 2350 meter dpl menjadikan tempat ini sebagai salah satu lokasi sunrise terbaik di Pulau Jawa.
Perjalanan dari tempat kami menginap membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk berjalan kaki menuju kaki Gunung Sikunir. Karena waktu itu sudah pukul 04.30 maka untuk mengejar sunrise akhirnya kami pun memutuskan untuk naik motor. Tidak hanya berdua akhirnya kami ditemani oleh Pak Biyanto, sebut saja Pak Bee. Beliau adalah warga setempat yang bersedia menemani kami mendaki Gunung Sikunir.
Perjalanan 8 km dengan motor yang menembus udara subuh itu begitu dingin, hingga jemari tangan pun ikut keram dibuatnya. Untuk menuju kaki gunung kita akan melewati Telaga Warna, Kawah Sikidang dan Telaga Cebong. Ketika sampai di pos pemberhentian, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Lokasi itu sangat gelap karena tidak ada penerangan lampu di kawasan tersebut. Cahaya yang membantu langkah kaki hanyalah cahaya senter, bulan dan jutaan bintang di atas langit.
Selama awal pendakian kami disuguhkan dengan ladang yang berisi tanaman kentang. Dimana dataran tinggi ini memang terkenal sebagai penghasil sayuran. Selepas itu jalan menanjak mulai kami lalui, diawali dengan jalan yang semaki sempit dan kontur yang menanjak. Selama pendakian dibutuhkan konsentrasi yang cukup baik, karena ketika mendaki salah satu sisi adalah jurang yang cukup dalam. Perjalanan menanjak dengan banyaknya batuan menjadikan rute ini licin ketika hujan turun.
Setelah berjalan kurang lebih satu jam akirnya kami sampai di puncak gunung Sikunir. Ketika itu kami adalah pendaki pertama yang sampai disana. Tidak lama berselang datang rombongan lain yang juga ingin menikmati sunrise di gunung ini. Sesaat setelah sampai di puncak gunung jajaran awan membentang luas bagaikan lautan gumpalan gas yang berjalan dengan anggunnya. Inilah yang membuat kami seperti berada di negeri awan.
Ketika pukul 05.30 sedikit demi sedikit udara menghangat akibat pancaran sinar matahari yang terbit. Sedikit demi sedikit pula cahaya merah mulai tampak dari ufuk timur. Terus menaik dengan anggunnya menjadikan lautan awan yang tadinya berwarna kelabu menjadi jingga kemerahan. Begitu indahnya melihat sang surya terbit di atas lautan awan yang di kelilingi oleh beberapa gunung. Dari puncak ini terlihat puncak Merapi yang terlihat miring akibat letusan tahun 2010 silam. Tidak hanya itu, Sindoro, Merbabu, dan Gunung Ungaran pun nampak begitu kokoh berdiri menatap sang surya.
Dada yang terasa sesak dan nafas yang terengah-engah serta rasa lelah kaki selama pendakian pun terbayar dengan menikmati bangunnya sang surya di atas negeri awan.
Tidak hanya wisata candi dan kawah saja yang terkenal dari Dataran Tinggi Dieng. Telaga Warna merupakan salah satu wisata Dataran Tinggi Dieng yang sangat terkenal. Berada diketinggian lebih dari 2000 meter dpl menjadikan telaga ini terasa cukup dingin walaupun matahari tampak cerah bersinar. Yang menjadikannya berbeda dengan telaga lainnya yaitu warna air dari telaga yang sangat cantik. Kadang warna air di telaga ini dapat berwarna hijua, biru, kuning bahkan ungu.
Untuk mencapai lokasi ini kami membutuhkan waktu berjalan kaki selama 20 menit. Sebenarnya lokasi loket masih berada 50 meter dari lokasi kami masuk. Kami memasuki kawasan ini melalui pintu belakang yang aksesnya lebih dekat menuju telaga. Untuk memasuki kawasan ini kami berdua dikenakan biaya 12.000 IDR, karena lewat pintu belakang maka harganya pun lebih murah dibandingkan dengan lewat pintu utama (sekali lagi jangan ditiru ya..!! heheh).
Walaupun perjalanan kami ditemani oleh jajaran pohon pinus yang cukup rimbun, tapi kami sudah dapat mengintip keelokan telaga itu dari jauh. Semakin mendekati telaga bau belerang mulai tercium. Ternyata memang terdapat sebuah bukit yang mengandung belerang didalamnya.
Telaga Warna
Menurut warga sekitar berbagai warna yang muncul di telaga ini konon diakibatkan oleh jatuhnya batu perhiasan seorang bangsawan kedalam telaga. Akibatnya warna air di telaga ini menjadi beraneka ragam. Akan tetapi secara ilmiah warna-warna yang tampak dari telaga ini diakibatkan oleh adanya kandungan batu belerang didalamnya. Ketika terkena matahari maka warna ini akan dibiaskan dan ditangkap oleh mata menjadi warna-warna seperti biru, hijau, kuning, hingga ungu.
Semakin mendekat kami semakin takjub dengan warna air telaga yang begitu cantik. Pada saat itu air telaga berwarna biru, hijau toska, dan kuning keemasan. Dengan dikelilingi pegunungan yang hijau semakin mempercantik pemandangan di sekitar telaga warna ini. Di samping telaga warna terdapat telaga lainnya yang menyerupai dengan telaga warna. Telaga ini bernama Telaga Pengilon, tetapi pada saat kami kesana warna airnya tidak sebagus air Telaga Warna.
Telaga Warna
Menurut penjaga pintu untuk memperoleh view yang baik dapat dilihat dengan menaiki bukit yang berada di sebelah kiri. Akhirnya kami pun menjajal untuk menaiki bukit tersebut. Setelah setengah perjalan akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan dikarenakan jalan yang sulit dan ditambah hanya kami yang menaiki bukit tersebut. Walaupun hanya separuh perjalanan tapi telaga ini sudah cukup tampak indah jika dilihat dari atas.
Gua Sumur
Setelah puas menikmati indahnya Telaga Warna kami pun melanjutkan perjalanan menyusuri jalan kecil yang tersedia. Akhir jalan ini membawa kami ke sisi lain dari telaga. Jalan ini membawa kami pada Goa Sumur, Goa Jaran, dan Goa Semar. Selain itu sebelum mencapai goa tersebut terdapat pahatan patung emas Mahapatih Gajah Mada. Dari sini pula kita dapat menuju Dieng Plateau Theater. Tempat yang biasa digunakan untuk pemutaran film sejarah awal mula terbentuknya dan perkembangan Dieng dari tahun ke tahun.
Seperti halnya Pegunungan Tengger, Dataran Tinggi Dieng juga merupakan dataran vulkanik yang masih aktif. Hal ini terlihat dari suburnya tanah yang menjadikan sayuran yang ditanam di wilayah ini menjadi produk unggulan. Selain itu ditandai dengan banyaknya kawah yang mengeluarkan asap dan kandungan belerang yang cukup tinggi. Salah satu kawah yang menjadi objek favorit para wisatawan domestik dan mancanegara adalah Kawah Sikidang.
Kawah Sikdang
Untuk menuju lokasi ini kami membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk berjalan kaki dari penginapan. Lokasi ini berdekatan dengan lokasi Komplek Candi Bima. Tak jauh dari Candi Bima plang Kawasan Kawah Sikidang ini mulai terlihat. Pada saat kami datang tempat pembelian loket pun sepi tidak ada orang serta tidak ada portal yang menghalangi jalan masuk utama. Jadi beruntunglah kami pada hari itu karena tidak harus membayar tiket masuk (jangan ditiru ya..!!).
Dari pintu gerbang perjalanan tidak langsung berhenti, karena untuk mencapai kawasan kawah ini diperlukan perjalanan yang cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Baiknya akses jalan ini memudahkan wisatawan untuk menuju kawah. Selama perjalanan papan-papan peringatan mengenai adanya gas beracun terpampang di pinggir jalan. Jalan yang menanjak dan bau busuk yang mulai tercium membuat nafas sedikit terengah-engah. Ketika setengah perjalanan terlihat dengan jelas pipa-pipa besar yang memanjang melintasi kawasan ini. Pipa ini digunakan untuk menyalurkan gas panas bumi yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Akan tetapi, kondisi pipa ini sudah memprihatinkan. Terdapat salah satu pipa yang sudah berkarat dan terdapat lubang. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika pipa-pipa ini bocor.
Perjalanan yang cukup menguras energi terbayar ketika sampai di kawah ini. Ketika memasuki kawasan kawah bau busuk belerang semakin kuat tercium. Untuk itu disarankan bagi para pengunjung menggunakan pelindung seperti masker atau syal. Kesan pertama ketika melihat kawasan ini bagaikan berada di planet lain. Warna hijau yang menyejukkan mata dikala melihat gunung, pohon, dan ladang pertanian warga setempat berubah seketika menjadi hamparan tanah tandus yang mengeluarkan asap dimana-mana.
Kata Sikidang menurut warga setempat berasal dari kata kidang yaitu kijang dalam bahasa Jawa. Letupan air panas dan asap sering berpindah-pindah posisi yang mengakibatkan wisatawan yang berkunjung harus berhati-hati ketika melangkah. Bahkan tidak sedikit yang melompat ketika berjalan untuk menghidari semburan air panas.
Dibagian kawah terbesar terbentuk seperti cekungan yang berisi letupan air panas. Diperkirakan panasnya air ini mencapai 98 derajat Celsius. Bagian kawah ini dibatasi oleh pagar bambu yang dimaksudkan untuk keamanan dan pencegahan bagi wisatawan yang ingin mendekat ke area kawah. Batu belerang yang mengandung sufur ini diyakini memiliki beberapa manfaat. Banyak orang yang memanfaatkan batu ini sebagai obat penghilang penyakit kulit seperti panu, kurap bahkan jerawat. Jadi tidak heran jika anda akan menemukan banyak penjual batu belerang di kawasan ini.
Dieng ialah tujuan perjalanan saya kali ini. Dataran tinggi ini terletak pada kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Kata Dieng berasal dari bahasa Sansekerta "Di" yang artinya tempat tinggi dan "Hyang" yang artinya kayangan, maka dapat diartikan sebagai tempat tinggi bagi para dewa dewi. Pada perjalanan ini saya tidak
sendiri karena sahabat traveling saya sudah menunggu terlebih dahulu di Jogja.
Hari itu matahari bersinar cerah
dan tepat pukul 10.00 saya berangkat meninggalkan Bogor menuju Jogja. Untuk ke Dieng rute yang kami pilih adalah melalui Jogja. Salah satu
alasannya karena sahabat traveling saya ini memang tinggal disana. Jadi
akan lebih efektif jika dibandingkan kalau kami bertemu langsung di kota
lain.
Untuk menuju Jogja alat
transportasi yang saya pilih adalah kereta api. Setelah sampai di
stasiun terakhir, akhirnya saya sampai juga di Stasiun Jakarta Kota. Dari stasiun ini saya segera
berpindah ke kereta yg akan membawa saya ke kota budaya itu. Akhirnya
tepat pukul 12.00 kereta yang saya naiki pun berangkat. Kala itu kereta
yang saya pilih adalah Gaya Baru Malam Selatan dengan tujuan akhir Surabaya.
Alat transportasi masal ini nampak lengang saat meninggalkan Stasiun Jakarta Kota. Ketika memasuki Stasiun Senen keheningan pun terpecahkan oleh
suara orang-orang yang hendak masuk menaiki kereta ekonomi ini. Selama
perjalanan saya disuguhkan oleh tangisan anak kecil, ibu-ibu dan
bapak-bapak yang saling berbincang dengan kerabat mereka, bahkan tidak
sedikit yang tertidur dengan pulasnya. Keramahtamahan mereka terlihat
saat mengeluarkan perbekalan, tidak sedikit dari mereka yang
menawarkan makanan pada orang yang duduk disekitar mereka. Tidak
terkecuali, saya pun turut menikmati keramahan dari orang yang
duduk disekitar saya.
Hari menjelang sore dimana cahaya matahari begitu terang menyinari
dalam gerbong melalui kaca-kaca kereta. Ketika hawa menjadi panas dan
gerah tentunya hanya dengan berkipasanlah yang mampu meredakan rasa panas. Saat menaiki kereta ini jangan membayangkan seperti berada
dalam kereta eksekutif. Dimana keringat saja tidak akan menetes sedikit
pun. Ketika kereta berhenti di stasiun tertentu akan terdengar suara nyanyian pengamen serta sautan para penjaja makan dan minuman. Kereta ekonomi saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu. Tiket yang dijual hanyalah tiket duduk, dan tiket berdiri sudah tidak diberlakukan lagi. Keamanan yang baik dan penertiban pedangan pun sudah mulai tampak di kereta yang harga tiketnya jauh dibawah harga tiket kereta bisnis, ekoAC, dan eksekutif. Suasana inilah yang tidak akan anda jumpai di kereta eksekutif dan tentunya semakin mewarnai perjalanan saya kali ini.
Setelah menempuh perjalanan selama 9 jam akhirnya saya pun turun dari kereta dan sampai di Stasiun Lempuyangan, Yogjakarta. Di gerbang luar stasiun nampak seorang wanita berjilbab telah menanti kedatangan saya di kotanya. Dialah Rieke "Ownenk" sahabat traveling saya kali ini. Karena waktu sudah larut dan perut terasa lapar, akhirnya sebelum menuju rumah Rieke kamipun penyempatkan diri mampir di salah satu angkringan yang ada. Perjalanan menuju Dieng pun kami lakukan keesokan harinya.
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh menandakan waktu telah pagi dan kami pun siap berpetualang menuju negeri para dewa. Perjalanan kami mulai sejak pukul 06.30 dan butuh waktu sekitar 15 menit untuk akhirnya sampai di Terminal Jombor. Melalui terminal ini kami akan menaiki bus jurusan Jogja-Magelang. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan untuk akhirnya sampai di terminal Magelang. Pukul 08.15 kami pun sampai dipemberhentian terakhir bus Jogja-Magelang. Di luar pintu masuk terminal kami langsung disambut oleh para kernek bus yang berebut mencari penumpang. Tak jauh dari depan gerbang terdapat sebuah bus kecil jurusan Magelang-Wonosobo. Tanpa menunggu lama bangku bus yang kami naiki seketika penuh dengan para penumpang dan perjalanan pun siap dilanjutkan.
Dieng
Rute perjalanan ini akan melewati kota Secang, Temanggung, Parakan dan Keretek. Selama perjalanan kondisi lalu lintas lancar tidak ramai seperti di kota besar lainnya. Selama perjalanan kami disuguhkan oleh pemandangan pepohonan, gunung dan tentunya pasar tradisional. Ketika memasuki kota Wonosobo udara sejuk mulai terasa walaupun matahari cerah bersinar. Setelah melewati dua jam perjalanan akhirnya kami sampai di terminal Wonosobo. Untuk melanjutkan ke Dieng kami harus menaiki angkutan umum menuju persimpangan jalan besar dimana bus-bus tujuan Dieng banyak ditemukan.
Perjalanan pun kami lanjutkan kembali dengan menaiki bus tersebut. Selama perjalanan kami dimanjakan dengan pemandangan beberapa gunung di sisi kanan kiri serta hawa dingin yang semakin lama semakin terasa. Jalanan yang semakin menanjak dan berkelok mendakan semakin dekatnya kami dengan tujuan akhir perjalanan ini. Selama perjalanan pun aroma bawang cukup terasa, karena pada saat itu sedang musim panen. Nuansa religi begitu kental terasa di kota ini. Banyak sekolah-sekolah Islam berdiri di sana. Tidak jarang pula kami melihat para siswa yang berjalan kaki pulang dari sekolah menuju rumah-rumah mereka.
Empat puluh lima menit adalah waktu yang kami butuhkan untuk akhirnya mencapai dan menginjakkan kaki di negeri para dewa ini. Suasana yang cukup terik karena saat itu kami sampai sekitar pukul 11.45. Hawa yang terasa cukup dingin karena ketinggian dataran ini yang mencapai lebih dari 2000 meter dpl. Mencari penginapan yang murah tentunya menjadi tujuan pertama kali ketika menginjakan kaki disana. Akhirnya kami mendapatkan penginapan yang murah dengan fasilitas yang cukup untuk berlindung dari dinginnya udara malam nanti. Ketika malam suhu udara di Dieng dapat mencapai kurang dari 10 derajat Celsius. Dapat dibayangkan bagaimana dinginnya bukan.
Mie Ongklok
Ketika menyambangi kawasan ini tidak lupa kami mencicipi Mie Ongklok khas Wonosobo. Mie ini hampir mirip dengan mie ayam pada umumya tapi tetap berbeda rasanya dengan mie ayam yang biasa kita jumpai di kota-kota besar. Bentuknya yang sedikit basah (agak nyemek-nyemek) dan tambahan sate menjadikannya berbeda dengan lainnya. Tak jauh dari lokasi penjual Mie Ongklok terdapat penjual es dawet durian. Walaupun jemari tangan terasa mulai kaku tetap saja penjual es yang ramai dikunjungi oleh pembeli itu tetap kami sambangi. Ternyata apa yang dilihat dan dipikirkan sesuai dengan kenyataannya. Rasa es dawet ini cukup nikmat. Dawet asli yang terbuat dari tepung beras serta tambahan gula jawa yang harum dan legit membuat kami melupakan sejenak hawa dingin yang menusuk tulang.
Petualangan kami pun segera dimulai. Dengan menyambangi Telaga Warna, Goa-Goa yang ada, Kawah Sikidang, ke beberapa komplek candi dan tentunya menikmati sunrise di puncak Gunung Sikunir.
Ketika anda berkunujung ke tempat ini terdapat beberapa makanan yang dapat dijadikan buah tangan seperti keripik dan yang khas adalah manisan Carica. Selain itu ketika hawa dingin merasuk dimalam hari akan lebih nikmat jika meminum Purwoceng. Minuman ini berfungsi untuk memberikan rasa hangat pada tubuh.
Rincian Biaya Perjalanan Bogor-Yogjakarta-Dieng :
Bogor-Jakarta (Commuter Line ) : 7.000 (sekarang naik jadi 9.000)
Jakarta-Yogjakarta (Kereta GB Malam Selatan) : 33.500
Jogja-Magelang (bus) : 8.000
Magelang-Wonosobo (bus) : 16.000
Wonosobo-Dieng (angkot + bus) : 2.000 + 8.000
Penginapan : 50.000/malam (diisi dua orang jadi per orang 25.000)
Biaya yang saya keluarkan untuk sekali perjalanan adalah 74.500 IDR (tanpa biaya penginapan) dan ongkos pulang pergi hanya merogoh kocek 149.000 IDR. Dengan budjet sekitar 300.000 IDR saya rasa cukup untuk bekal selama perjalanan dari Bogor-Dieng. Jadi dengan budget terbatas siapa bilang tidak bisa berpetualang.